Menakar Peluang Situasi Damai Semenanjung Korea di Tengah Pandemi COVID-19
Tidak ada persetujuan yang terbentuk di antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan pimpinan paling tinggi Korea Utara Kim Jong-un dalam KTT Hanoi 2019. Perwujudan denuklirisasi Korut dengan ganjaran pencabutan ancaman atas Pyongyang tidak disepakati, dan riwayat nyaman juga tidak berhasil terbentuk waktu itu.
bisa dimainkan judi bola online lewat platform apa saja
Awalnya, AS dan Korut digadangkan akan bermufakat untuk membangun kantor penyambung di ibukota semasing. Kalaulah ancaman tidak ditarik seutuhnya, minimal akan ada kelonggaran.
Tetapi, tatap muka ke-2 nya disudahi secara mendadak. Bisa lebih cepat dari agenda. Tiada hasil. Tidak berhasil keseluruhan.
Sekarang, Amerika Serikat akan mempunyai 'nafas baru'. Joe Biden jadi calon pemilihan presiden yang mendapatkan suara elektoral paling banyak menaklukkan Donald Trump.
Semenjak tahun tatap muka paling akhir di Hanoi, jalinan dua negara dipandang macet, ditambahkan keadaan wabah Virus Corona COVID-19 yang membuat tatap muka face to face susah dikerjakan.
Lantas bagaimanakah nasib Semenanjung Korea. Bagaimana juga dengan potensial perdamaian, rintangan yang dihadapu di tengah-tengah keadaan yang demikian aktif sekarang ini.
Menjawab itu seluruh, Foreign Kebijakan Community of Indonesia (FPCI) melangsungkan roundtable discussion dengan topik "Advancing Peace on the Korean Peninsula: Dynamic Changes, Prospects, and Challenges."
Dalam dialog ini datang Park Won Gon dari Handong Global University. Dalam paparannya, nasib Semenjung Korea bukan samata-mata cuman berkaitan Amerika Serikat saja, tetapi teritori. Mencakup, Korea Selatan yang bersebelahan langsung, China dan ASEAN.
Oleh karena itu, Park Won Gon menyebutkan peranan Korea Selatan pada jalinan Amerika Serikat dan China (dua negara besar) yang sedang berkonflik sangat penting.
"Korea Selatan sudah meningkatkan jalan keluar untuk hari esok yang nyaman untuk AS dan China. Korea Selatan harus jaga koalisi yang patuh dengan AS sekalian perkuat kerja sama taktiksnya dengan China," tutur Park Won Gon.
"Iya itu benar-benar susah saat jaga kesetimbangan di antara dua negara itu. AS dan China seolah-olah mendesak Korsel untuk pilih satu faksi. Dan trend ini akan diperkokoh seiring waktu berjalan," sambungnya.
Perang dagang di antara dua negara ekonomi paling besar ini mengakibatkan export China alami pengurangan mencolok. Ini berasal dari pengangkutan lamban yang dikerjakan oleh AS.
Diambil dari situs BBC, di tahun 2019, China yang disebut negara dengan export paling tinggi ke-2 di dunia, alami pengurangan sampai 1,1%. Ini adalah kali ke-4 pengurangan secara beruntun.
Sedang untuk Amerika Serikat, exportnya alami pengurangan sampai 23%. Angka itu jadi yang terjelek semenjak Februari dan adalah kali keduabelas secara beruntun.
Menurut Park Won Gon, peraturan administrasi dari Joe Biden yakni ke arah pada peraturan konfrontatif.
"Demokrat bisa menjadi terang, kuat, dan stabil dalam menggerakkan kembali lagi dalam permasalahan ekonomi, keamanan dan hak asasi manusia yang dalam mengenai perlakuan pemerintahan China," tutur Park.
Saat itu, Min Jeonghun yang disebut Associate Professor di Department of American Studies, Korea National Diplomatic Academy menjelaskan jika peraturan Joe Biden pada jalinan Korea Utara dan AS semakin lebih pada meneruskan perbincangan pada tingkat bilateral.
"Peraturan administrasi Joe Biden peluang akan meneruskan perbincangan tingkat kerja bilateral dengan Pyongyang dalam diskusi kuat dengan Seoul dan Tokyo," tutur Jeonghun.
Tetapi, di tengah-tengah keadaan yang paling aktif ini, Jeonghun menyebutkan jika perlu waktu minimal untuk Biden untuk konsentrasi pada jalinan AS-Korut.
"Masalahnya Joe Biden semakin lebih menyimpan perhatian awalnya pada rumor lokal. Seperti usaha menantang Corona COVID-19 dan usaha perbaikan perekonomian," terangnya.
"Umumnya dibutuhkan beberapa waktu untuk Pemerintah AS yang baru untuk membuat kabinetnya dan mengakhiri pantauan peraturannya," lebih Jeonghun.
Park Won Gon memprediksikan hari esok Amerika Serikat dan China di periode kedepan. Berapa kompetitifnya dua negara. Dia bahkan juga memberikan indikasi ada new cold war.
"Ada tiga konfrontasi di hari esok. Perang dagang, persaingan di dunia tehnologi, dan dalam sektor keamanan dan tempat militer," terangnya.
Lantas bagaimanakah ini seluruh berpengaruh pada Semenanjung Korea?
"Ada sesuatu hal negatif yang berpengaruh pada proses perwujudan perdamaian di Semenanjung Korea."
"Simpelnya, proses perdamaian mengikuti jalinan yang lebih bagus di antara AS dan Korea Utara. Sepanjang China pengin menjaga cakupan dampaknya atas Korea Utara, sedikit peluang untuk bekerja bersama dengan AS. Suport China ke Korea Utara bisa perkuat sikapnya."
Park Won Gon bahkan juga menyebutkan rintangan akan makin ditemui oleh Korea Selatan dalam hadapi desakan pilih ada pada pihak mana? Washington atau Beijing.
"Korea Selatan harus siap-siap dengan jalankan beberapa prinsip penting selaku berikut ini: Pertama, Korea Selatan harus lakukan yang terhebat untuk menjaga 'Rule Based International Order' atau tatanan internasional berbasiskan ketentuan yang sudah jadi kemampuan penggerak khusus untuk keberlangsungan hidup dan kemakmuran Korea Selatan," tutur Park.
"Walau AS dan China sama mengutamakan titik jumpa nasional mereka, minimal secara lahiriah, mereka sudah menghargai etika dan konsep yang dikenalkan di tahun 1945," sambungnya.
"Ke-2 , penting untuk membuat semakin banyak kerja sama antara beberapa negara yang berpikir sama yang hadapi keadaan sama. Dengan beberapa negara ini, Korea Selatan harus mempromokan kerja sama di antara AS dan China dan jadi anggota penting dalam membuat tatanan dunia yang lebih positif, lebih inklusif, kurang bersaing, dan taat pada ketentuan."
'Perang Korea akan usai, tetapi saat yang akan membuktikannya', catat Trump dalam Twitter-nya, paska tatap muka Kim Jong Un dan Moon Jae In.